atanya kemudian terpejam, mulut setengah terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, sudah kepalang, kucium bibir Tante perlahan.
“Ehhmmmm”
Tante tidak menolak, bahkan menyambut ciumanku. Tangan kirinya memeluk
punggungku dan tangan kanannya di belakang kepalaku. Nafasnya terdengar
memburu. Aku tidak lagi bertumpu pada lututku, tubuhku menindih
tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya. Aku menggeser tubuhku sehingga
tepat di antara pahanya yang baru saja ia buka. Kelaminku yang keras
tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya!
“Ehhhmmmmmm” reaksinya atas aksiku.
Kami saling bermain lidah. Sedapnya!
Aku terengah-engah.
Dia tersengal-sengal.
Tangan kananku meremas dada kirinya. Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku melayang.
He!, ini Tantemu, isteri Oommu!
Iya, benar. Memangnya kenapa.
Mengapa kamu cium, kamu remas dadanya.
Habis enak, dan ia tak menolak.
Dua kancing dasternya telah kulepas, tanganku menyusup ke balik kutangnya.
Selain besar, padat, dan kenyal, ternyata juga halus dan hangat!
Tiba-tiba Tante melepas ciumanku.
“Jangan di sini, To” katanya terputus-putus oleh nafasnya.
Tanpa menjawab aku mengangkat tubuhnya, kubopong ia ke kamarnya. “Uuuuuhhh” lenguhnya lagi.
“Ke kamarmu saja”
Sebelum sampai ke dipanku, Tante minta turun. Berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menahan dadaku.
“Kunci dulu pintunya” Okey, beres.
Kulepas
seluruh kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan
celana dalam. Buah dada itu serasa mau meledak mendesak kutangnya!
Kupeluk lagi dia. Dadanya merapat di dadaku.
“Tooo, hhehhhhhhh” katanya gemas seperti menahan sesuatu.
Kami berciuman lagi. Main lidah lagi.
Tangannya menyusup ke celanaku, meremas-remas kelaminku di balik celana.
“Eehhmmmmmm” dengusnya
Dengan kesulitan ia membuka ikat pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan mengeluarkan “isinya”
“Eehhh” Ia melepas ciuman, melihat ke bawah.
“Ada apa Tante” Tanyaku disela-sela dengus nafasku.
“Besar sekali”
Ia mempermainkan penisku. Menggenggam, meremas.
Geli, geliii sekali.
Stop Tante, jangan sampai keluar. Aku ingin pengalaman baru, Tante. Ingin memasuki kelaminmu..sekarang!
Kutarik tangannya dari penisku. Untung Tante menurut. Aku tak jadi “keluar”
Kulepas
tali kutangnya, tapi yang belakang susah dilepas. Tante membantu. Buah
dada itu terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat aku menikmat
buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan kananku, dituntunnya menyelip
ke celana dalamnya. Dibawah rambut-rambut itu terasa basah. Diajarinya
aku bagaimana jariku harus bermain di sana : menggesek-gesek antara
benjolan dan pintu basah itu.
“Uuuuuuhhhhhh, Tooo..”
Dilepasnya
bajuku, singletku, celanaku luar dalam. Aku telanjang bulat. Kutarik
juga celana dalamnya. Ia telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang itu
ramping, perut itu rata, ke bawah melebar lengkungannya indah.
Rambut-rambut halus itu menggemaskan, diapit oleh sepasang paha yang
nyaris bulat. Seluruhnya dibalut kulit yang putih dan mulusnya bukan
main!.
Ditariknya aku ke dipan. Ia merebahkan diri. Kakinya
ditekuk lalu dibuka lebar. Dipegangnya kelaminku, ditariknya,
ditempelkannya di selangkangan. Rasanya terlalu ke bawah. Ah, dia ‘kan
yang lebih tahu. Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku.
Ditariknya aku mendekat tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung
penisku.
Tangannya memegang penisku lagi. Belum masuk ternyata.
Disapu-sapukannya kepala penisku di pintu itu. Sementara ia menggoyang
pantatnya. Geliii, Tante. Aku manut saja seperti kerbau dicucuk hidung.
Memang belum pengalaman! Didorongnya lagi pantatku. Meleset!
Pernah
kupikir waktu pertama kali aku melihat kelamin Tante beberapa hari
lalu, mana cukup lubang sesempit itu menampung kelaminku yang lagi
tegang ?
Tante membuka pahanya lebih lebar lagi, mengarahkan
penisku lagi, dan aku sekarang yang mendorong. Kepalanya sudah separoh
tenggelam, tapi macet!
“Kelaminmu besar, sih!”keluhnya. Padahal barusan ia mengaguminya.
Ia menggoyang pantatnya dan…bless. Masuk separoh.
“Aaaaahhh” teriak kami berbarengan. Terasa ada sesuatu yang menjepit penisku, hangat, enak!
Pantatnya bergoyang lagi, tumitnya mendorong pantatku.
Blesss..masuk lagi. Makin hangat, makin sedap, dan geli.
Goyang lagi, aku dorong sekarang. Masuk semuanya
Seedaaaaaaaaap!
Tante bergoyang.
Nikmaaaaaaaat!
Tante menjepit.
Geliiiiiiiiiiiiiiii!
Kutarik pelan. Terasa gesekan, enak. Ya, digesek begini enak. Tarik sedikit lagi, dan kudorong lagi.
“Idiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Too” Tante berteriak, agak keras.
Geli di ujung sana. Tariik, dorooong
Makin geli..
Geli sekali…
Tak tahaaaaaann…
“Tahan dulu, To”
Tak mungkin, sudah geli sekali.lalu..
Aku melambung, melayang, melepas..
“Aaaaaahhhhhhh” teriakku. Nikmatnya sampai ke ubun-ubun.
Mengejang, melepas lagi, berdenyut, enak, melepas lagi, nikmat sekali..!
“Genjot lagi, To” teriaknya
Mana bisa.
“Ayo, To”
Aku sudah selesai!
Tante masih menggoyang
Aku ikut saja, pasif
“Tooooo, ..”
Tante gelisah, goyangnya tak kubalas. Aku sudah selesai!
“Eeeeeeeeehh” keluhnya, sepertinya kecewa.
Bergerak-gerak tak karuan, menendang, menggeliat, gelisah..
Penisku mulai menurun, di dalam sana.
Tante berangsur diam, lalu sama sekali diam, kecewa.
Tinggal aku yang bingung.
Beberapa
menit yang lalu aku mengalami peristiwa yang luar biasa, yang baru kali
ini aku melakukan. Baru kali ini pula aku merasakan kenikmatan yang
luar biasa. Kenikmatan berhubungan kelamin.
Nikmatnya susah digambarkan.
Hubungan kelamin antara pria yang mulai menginjak dewasa dengan wanita dewasa muda.
Sama-sama diinginkan oleh keduanya.
Keduanya yang memulai.
Berdua pula yang melanjutkan, keterusan dan…kepuasan.
Kepuasan ? Aku memang puas sekali, tapi Tante ?
Itulah masalahnya sekarang.
Aku menangkap wajah kecewa pada Tante.
Perilakunya yang gelisah juga menandakan itu.
Aku jadi merasa bersalah. Aku egois.
Aku mendapatkan kenikmatan luar biasa sementara aku tak mampu memberi kepuasan kepada “lawan mainku”, Tante Yani.
Terlihat tadi, ia ingin terus sementara aku sudah selesai.
Aku bingung bagaimana mengatasi kebisuan ini.
Aku masih menindih tubuhnya. Penisku masih di dalam.
Buah dadanya masih terasa kencang mengganjal dadaku.
Pandangannya lurus ke atas melihat plafon.
Aku harus ambil inisiatif.
Kucium pipinya mesra, penuh perasaan.
“Maafkan saya, Tante”
Tante menoleh, tersenyum dan balas mencium pipiku.
Sementara aku agak lega, Tante tak marah.
“Kamu engga perlu minta maaf, To”
“Harus
Tante, saya tadi nikmat sekali, sebaliknya Tante belum merasakan. Saya
engga mampu, Tante. Saya belum pengalaman Tante. Baru kali ini saya
melakukan itu”
“Betul ? Baru pertama kamu melakukan ?”
“Sungguh Tante”
“Engga
apa-apa, To. Tante bisa mengerti. Kamu bukannya tidak mampu. Hanya
karena belum biasa saja. Syukurlah kalau kamu tadi bisa menikmati”
“Nikmaaat sekali, Tante”
Tante diam lagi, mengelus-elus punggungku. Nyaman sekali aku seperti ini.
“To ” panggilnya.
“Ya, Tante”
“Ini rahasia kita berdua saja ya ? Tante minta kamu jangan katakan hal ini pada siapapun”
“Tentu Tante, tadinya sayapun mau bilang begitu” Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak aku jadi cemas.
“Tante ”
“Hhmm”
“Gimana kalau Tante nanti ..” Aku tak berani meneruskan.
“Nanti apa ?”
“Akibat perbuatan tadi, lalu Tante ..”
“Hamil ?” potongnya.
“Ya ”
“Engga usah kamu pikirkan. Tante sudah jaga-jaga”
“Saya engga mengerti Tante”
“To, lain kali saja ya Tante jelasin. Sekarang Tante harus mandi, Oommu ‘kan sebentar lagi datang”
Ah, celaka. Sampai lupa waktu. Aku bangkit hendak mencabut.
“Pelan-pelan To” katanya sambil menyeringai, lalu matanya terpejam
“Eeeeeehhh” desahnya hampir tak terdengar, ketika aku mencabut kelaminku.
Kubantu ia mengenakan kutangnya. Buah dada itu belum sempat aku nikmati. Lain kali pasti!
“Tante ” aku memanggil ketika ia sudah rapi kembali.
Kupeluk ia erat sekali, kubisikkan di dekat kupingnya
“Terima kasih, Tante” lalu kucium pipinya.
“Ya ” jawabnya singkat.
“Sana mandi, cuci yang bersih niih” katanya lagi sambil menggenggam penisku waktu bilang ‘niih’
Ooohhh, nikmatnya hari ini aku.
Malam
ini pertama kali aku ciuman dengan nikmat, pacaran sampai “keterusan”.
Pertama kali penisku memasuki kelamin wanita. Pertama kali aku
menumpahkan “air” ku ke dalam tubuh wanita, tidak ke perut atau ke
lantai.
Lebih istimewa lagi, wanita itu adalah Tante Yani.
Wanita dengan tubuh yang luar biasa.
Bentuknya, potongannya, halusnya, padatnya, putihnya, bulunya…..
Padahal
wanita itu sudah 26 tahun, sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi lebih
padat dari Si Ani yang 17 tahun, lebih manis dari Si Yuli yang
sepantaranku, lebih indah dari Si Rika yang seumurku.
Yang masih
mengganjal, wanita itu Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku meniduri isteri
Oomku! Aku mendapatkan pengalaman baru dari isterinya! Aku memperoleh
kenikmatan dari meniduri isterinya. Isteri orang yang membiayai
sekolahku, yang memberiku makan dan tempat tinggal!
Betapa jahatnya aku. Betapa kurangajarnya aku.
Aku sekarang jadi pengkhianat!
Mengkhianati adik misan ayahku!
Tapi, keliru kalau semua kesalahan ditimpakan kepadaku.
Siapa yang menyuruh memijat ?
Okey, seharusnya memijat saja, kenapa pakai mengelus ?
Pakai
meremas pantat ? Habis, siapa yang tahan ? Aku masih 16 tahun, masih
sangat muda, tapi sudah matang secara seksual, mudah terrangsang.
Tante
sendiri, kenapa tidak menolak ? Bisa saja ia menempelengku ketika aku
mau mencium bibirnya di karpet itu. Bisa saja ia menolak waktu aku
membopongnya ke kamarku. Dan aku, bisa saja memberontak waktu ia merogoh
celana dalamku, waktu ia menggenggam kelaminku dan diarahkan ke
kelaminnya….
Kesimpulannya : salah kami berdua!
Tapi, aku ingin mengulangi ……….!
***
Paginya,
kami sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani
menatap mata Oom waktu kami berbicara. Mungkin karena ada perasaan
bersalah. Sedangkan Tante, biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku wajar,
seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada pembicaraan penting waktu makan.
Tante
bangkit menuangkan minuman buat Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi
ingat peristiwa semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang ada di
depanku ini, yang sekarang tertutup rapat, sudah pernah aku tiduri. Aku
ngaceng lagi..
Susah sekali aku berkonsentrasi menerima pelajaran
hari ini. Pikiranku ke rumah terus, ke Tante. Bagaimana ia “menuntunku”
masuk. Bagaimana aku mulai belajar “menggesek”, terus keenakkan. Aku
ingin lagi…!
Tante bagaimana ya, apakah ia ingin lagi ? Aku
meragukannya, mengingat semalam ia tidak puas. Jangan-jangan ia kapok.
Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya sedikit lebih mesra kepadaku.
Memangnya kamu ini siapa.
Lebih baik begitu, wajar saja, ‘kan ada suaminya.
***
Dua
hari kemudian ketika aku pulang sekolah, kulihat ada mobil Oom di
garasi. Apakah Oom Ton tak ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom
tahu kalau aku ..
Ah, jangan berpikir begitu. Dua hari terakhir
ini sikap Oom kepadaku tak ada perubahan apa-apa. Sikap Tante juga
wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan. Setiap hari
ketemu Tante. Aku selalu membayangkan “dalam”-nya, walau pakaian Tante
tertutup rapat. Lalu, terbayang, aku sudah pernah menjamah tubuh itu,
dan terangsang lagi.
Selama dua hari ini aku betul-betul
tersiksa. Terlihat paha Tante yang sedikit tersingkap saja, aku langsung
“naik”. Ooh..! Aku ingin lagiiiiii.
Siang ini aku makan
sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom pasti ada di dalam, mobilnya
ada. Tante juga tentunya. Mungkin mereka sedang …? Siang-siang ? Biar
saja, toh suami-isteri. Sekejap ada rasa tak nyaman. Tanteku sedang
ditiduri suaminya…! Aku iri! Memangnya kamu siapa ?
Baru saja aku
selesai menyantap sendok terakhir makananku, kemudian mengangkat gelas,
ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju
tidur. Aku terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas berhenti, belum
sempat minum, terpesona oleh Tante dengan baju tidurnya. Kelihatan ia
baru bangun tidur, melihatku.
“Sudah pulang, To”
“Udah dari tadi Tante”
Ia
tutup pintu kamarnya kembali lalu mendekatiku, dan tiba-tiba mencium
pipiku erat, lenganku merasakan lembutnya sesuatu yang menandakan Tante
tak memakai kutang.
Hampir saja aku menumpahkan air minum karena kaget.
“Ada kabar gembira.”katanya berbisik. Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante sudah beranjak ke belakang meninggalkanku.
Aku jadi penasaran. Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar gembira apa ?
Ketika Ia kembali lagi, aku berdiri untuk memuaskan rasa penasaran tadi.
Tante menempelkan telunjuknya ke mulut sambil matanya melirik ke kamar. Aku mengerti isyarat ini. Jangan ganggu, ada suaminya.
Sejam
kemudian kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bersama Tante. Oom
Ton berpakaian rapi berdasi, seperti hendak ke kantor, sedangkan Tante
mengenakan daster pendek tak berlengan berkancing tengah, daster
kesukaanku. Terlihat segar, baru saja mandi, mungkin.
“Tarto” Oom Ton memanggilku.
“Ya, Oom”
“Oom mau ke Bandung, dua hari. Kamu jaga rumah ya ?”
Ini rupanya kabar gembira itu!
“Baik, Oom, kapan Oom berangkat ?”
“Sebentar lagi, jam tiga”
Dua hari Oom tak ada di rumah, tentunya dua malam juga. Dua malam aku menjaga rumah, bersama Tante.
Dua malam bersama Tante ? Bukan main!. Eit, jangan berharap dulu, ya. ‘Kan tadi Ia bilang kabar gembira ?
Kok kamu yakin kabar gembiranya Tante adalah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok pasti ya!
Aku melirik Tante, Ia biasa-biasa saja.
Pak Dadan datang membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.
“Papa berangkat ya, Ma”
“Ya, Pa, hati-hati di jalan, ya ?”
“Mama juga hati-hati di rumah”
Oom mencium pipi Tante, lalu menciumi Si Luki.
“Jaga baik-baik, ya To”
“Ya, Oom”
Seisi rumah mengantar Oom sampai depan pintu pagar, melambai sampai mobilnya berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.
Semuanya masuk ke rumah kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh berharap dan kepalaku penuh rencana.
Luki
dibawa pengasuhnya ke rumah sebelah. Mbak meneruskan pekerjaannya di
belakang. Aman. Tinggal aku dan Tante. Kuberanikan diriku. Kupeluk Tante
dari belakang. Betul ‘kan, Tante tak memakai kutang. Wah, sudah lama
sekali aku tak menyentuhnya.
Tante sedikit kaget, lalu berbalik membalas pelukanku. Cuma sebentar, melepaskan diri.
“Sabar, dong To”
“Tante …” Serak suaraku.
“Nanti malam saja ”
Aha, rencana di kepalaku bisa terlaksana malam ini.
Kami duduk berdampingan di sofa, sedikit berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.
Aku
tak tahan lagi, penisku sudah tegang dari tadi. Sekarang baru jam
setengah empat sore. Berapa jam lagi aku mesti menunggu ? Oh, lama
sekali.
Tante, tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menunggu.
Kulihat sekeliling meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika di belakang. Aman!
Kupegang
tangan Tante yang sedang ada di pahanya. Dengan begini aku bisa
meremas-remas tangannya sambil merasakan lembutnya paha. Ia sesekali
membalas remasanku, tetap membaca.
Ditariknya tangannya untuk membuka halaman buku bacaannya, tanganku “tertinggal” di pahanya. Kesempatan.
Kuusap lembut pahanya. Paha itu masih seperti yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu lembut. Masih tetap membaca.
Aku
makin berani, tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya. Kuusap
celana dalamnya. Nafasnya mulai terdengar meningkat “volume”nya.
Diletakkannya buku itu sambil menghela nafas panjang.
“To., kamu engga sabaran, ya ?” katanya sambil memegang tanganku di bawah sana.
“Maafkan
saya Tante, saya.. saya ..engga kuat lagi Tante, saya ingin lagi,
Tante” Kataku terputus-putus menahan birahi yang mendesak. Kelaminku
juga mendesak.
“Masih sore, To”
“Tolonglah., Tante, saya
membayangkan terus setiap ..hari” kataku setengah memohon. Aku yakin
Tantepun sebenarnya telah terangsang, terlihat dari nafasnya dan aku
merasakan basah di celananya. Aku sudah sampai pada titik yang tak
mungkin surut kembali. Situasi sekeliling aman. Jadi, apa lagi selain
berlanjut ?
“Saya mohon, Tante” kini aku betul-betul memohon.
Ditariknya tanganku dari paha, lalu dituntun ke dadanya. Permohonanku diterima.
Kuremas buah dada itu yang hanya ditutupi selembar kain daster.
“Eeeeeeehhh” desahnya.
Tiga
hari lalu, waktu aku pertama kali meniduri Tante (memang baru pertama
kali aku berhubungan sex), aku belum sempat menikmati buah dada ini.
Waktu itu kami sudah sama-sama terangsang sehabis aku memijatnya. Aku
baru sempat meremasnya, itupun dibalik kutang. Lalu ketika kutangnya
sudah terbuka, Tante sudah keburu menuntun kelaminku memasukinya.
Sekaranglah kesempatan untuk menikmati dada itu.
Kubuka kancing dasternya, satu, dua, tiga.
Dada itu mengagumkan.
Putih,
besar, menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya,
putingnya kecil agak panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.
Aku berlutut di depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang seperti parit kecil di antara dua bukit.
Halusnya buah itu dapat kurasakan di kedua belah pipiku.
Mulutku
bergerak ke kiri, ke dada bagian atas, terus turun, kutelusuri
permukaan bukit halus itu dengan bibir dan lidahku. Sementara tangan
kananku mengusapi buah kirinya. Luar biasa, kulit itu haluuus sekali!
Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku. Penelusuranku berakhir di
puncaknya. Kumasukkan putting itu kemulutku, kukemot.
“Aaaaaaaahhh” lenguhnya pelan sekali.
Tangannya menekan kepalaku.
Kukemot
lagi, kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting itu mengeras.
Puting satunya lagi juga mengeras, terasa di antara telunjuk dan ibujari
tangan kananku.
Ada kesamaan gerak antara mulut dan tangan
kananku. Kalau mulutku mengulum puting, jari-jariku memilin puting
sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi seluruh permukaan buah yang
sangat halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh permukaan
dada itu demikian halus, sehingga ada sedikit yang tak halus di sebelah
puting agak ke bawah menarik perhatianku.
Kulepaskan muluku dari
dadanya, ingin memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante ada bercak
merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat
tadi siang waktu makan. Ini pasti “hasil kerja” Oom Ton di kamar yang
terkunci tadi..
Akupun ingin. Betapa enaknya menggigit buah kenyal ini.
Dada kanan bagianku. Kucium puting itu kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.
Tiba-tiba Tante mendorong kepalaku.
“Jangan, To. Kamu..mikir, dong” katanya sambil terengah-engah.
Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit tentu nanti berbekas, jelas pemilik sahnya, Oom Ton, akan curiga!
“Maafkan saya Tante, habis gemas sih.”
“Yahhh.engga apa-apa. Kamu harus ingat, ini rahasia kita saja”
Dipegangnya
dadanya sendiri lalu disodorkannya ke mulutku. Gantian, sekarang dada
kiri dengan mulutku, yang kanan dengan tangan kiriku….
Sudah saatnya untuk pindah ke kamar.
Aku
bangkit berdiri. Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah dasternya
sudah semuanya terlepas, menyibak kesamping, tinggal celana dalamnya
saja. Dada itu rasanya makin besar saja.
Kutarik kedua tangan
Tante, tapi ia melepaskannya. Dibukanya gesperku, lalu kancing celanaku,
dan ditariknya resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang itu
keluar dengan gagahnya persis di depan mukanya.
“Uuuuuuuuuhhhh” Tante melenguh pelan memegang kelaminku, dielusnya.
“Kok besar sekali sih To, punyamu ini”
Kuraih badannya, kubimbing ia ke kamarku sambil masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami berdua.
Kukunci pintu kamarku, kurebahkan Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan bertelanjang bulat kudekati Tante.
Dengan
perlahan kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku bertemu
dengan rambut halus hitam mengkilat itu. Ada cairan bening di sana.
Kutindih tubuhnya lalu kakinya menjepit tubuhku. Kamipun berciuman,
saling menggigit lidah. Lalu akupun tak tahan lagi.
Aku bangkit.
Kubuka kakinya lebar. Lubang sempit itu terbuka sedikit, merah. Sekarang
aku tak perlu dituntun lagi. Aku sudah tahu. Kutempelkan kepala penisku
ke lubang sempit itu, lalu kudorong hati-hati.
“Aaaaaaaaaaahhhhh, To, sedaaaaaap”
Kepalanya sudah masuk. Nikmaaaaaaaaaat!
Aku heran, lubang sesempit itu bisa “menelan” kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang penting enak.
Sambil
memegangi kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau
geli-geli enak. Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak
lagi, geli lagi.
Lagi kudorong, sampai habis, sampai mentok.
“Idiiiiiiiiiiiiih, Toooo, enak sekali”
Nyaman, sudah didalam seluruhnya.
Pinggul
Tante mulai berputar. Aku tahu tugasku, menarik dan mendorong. Mulut
Tante mengeluarkan bunyi-bunyian setiap aku mendorong. Melenguh,
mendesah, kadang menjerit kecil, atau kata-kata yang tak bermakna.
Kejadian
tiga hari lalu berulang. Baru beberapa kali “tusuk” aku sudah merasakan
geli luar biasa. Nampaknya aku tak mampu menahan lagi. Ah, kenapa
begini ? Aku tak bisa tahan lama. Aku cemas jangan-jangan Tante nanti
kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku sudah hampir tiba di puncak.
Aku
coba berhenti bergerak sambil menahan agar jangan sampai keluar dulu,
persis kalau aku menahan kencing. Tapi begitu aku diam, pantat Tante
langsung berputar. Seluruh bagian tubuh yang di dalam sana memeras-meras
kelaminku. Oh, aku tak akan berhasil menahan diri. Langsung saja aku
bergerak lagi, makin cepat malah. Ocehan Tantepun makin ngawur.
Aku
jadi cepat, makin cepat dan semakin cepat, lalu ……. badanku bergetar
hebat, mengejang, berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagi…
Tante berhenti berputar, lalu menjepit kakiku, menerima pelepasanku.
Rasanya aku mengeluarkan banyak sekali
Lalu akupun ambruk di atas tubuh Tante.
Aku
selesai. Selesai menggetar, selesai mengejang, selesai melepas, selesai
semuanya. Tanteku selesai terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.
“Tante, gimana Tante, saya engga bisa menahan lagi …”
“Hmmm, To”
“Maafkan lagi saya, Tante. Saya gagal”
“Sudahlah, To”
“Saya hanya memuaskan diri sendiri”
“Tante bilang sudahlah, kamu lumayan tadi”
“Lumayan gimana Tante ?”
“Ada kemajuan dibanding yang lalu. Tante merasa enak, tadi”
“Tante bohong! Tante cuma menghibur saya”
“Benar, To. Memang Tante merasa belum “tuntas”, tapi kocokanmu tadi bisa Tante nikmati”. Aku agak tenteram.
“Ini karena kamu belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama kamu akan mampu. Barangmu kerasnya luar biasa”
“Gimana caranya supaya saya bisa lama, Tante ?’
“Nanti kamu akan tahu sendiri”
“Ajarin saya ya, Tante”
Tante tak menjawab. Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.
Tante melihat jam, pukul empat sore, lalu bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.
“Tante mandi dulu, ya ?”
Aku membantunya berpakaian.
Merapikan
karet celana dalamnya, mengkaitkan kutangnya, mengancingkan dasternya.
Ada sesuatu yang lain kurasakan. Aku merasa demikian “mesra” membantunya
berpakaian. Aku serasa membantu isteriku!
Ya, barusan aku merasa meniduri isteriku.
Kupeluk Tante erat sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.
“Tante”
“Apa, To ?”
“Tarto sayang Tante” kataku tiba-tiba.
Dipandangnya mataku lurus-lurus.
“Apa maksudmu To”
“Engga tahu Tante, pokoknya saya sayang sama Tante. Tante jangan kapok, ya ? Tarto ingin kita terus begini”
“Oh, itu maksudmu. Asal kamu bisa jaga rahasia”
“Bisa, Tante”
“Juga harus hati-hati”
“Iya,Tante”
Tanpa kusadari, penisku bangun lagi.
“Sudah, mandi sana” Tante ke luar kamarku
***
Malam
itu aku nonton TV sendirian. Tante ada di kamarnya, tertutup. Aku
kesepian. Aku mengharapkan Tante akan ke luar dari kamar menemaniku di
sini. Kemudian aku mendekatinya, lalu ciuman, raba-raba, dan …diakhiri
dengan hubungan suami-isteri.
Heran aku, baru tadi sore aku
dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam ini aku ingin lagi! Aku ingin
kenikmatan itu lagi. Aku tetap menunggu.
Jam 9 malam. Tante belum juga muncul.
Pukul 9.30, tidak juga.
Kemarilah Tante, aku merindukanmu.
Malam ini adalah malam pertama Oom tak ada di rumah. Ayolah Tante, ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan.
Atau kuketuk saja pintunya, lalu aku masuk ?
Ah jangan. Itu kurang ajar, namanya.
Tubuh indah itu sendirian di kamar.
Buah dada putih itu tak ada yang mengelusnya.
Kelamin berambut halus itu tak ada yang memasukinya malam ini.
Kenapa engkau tidak ke luar ?
Barangkali Tante memang tidak membutuhkannya. Paling tidak malam ini.
Ya, kalau ia butuh tentunya akan mendekatiku.
Jam 10, belum ada tanda-tanda.
Aku
putuskan, malam ini memang Tante tak mau diganggu. Biar sajalah. Toh
besok siang, sore, atau malam masih ada kesempatan. Oom Ton menginap di
Bandung dua malam. Yah, besok sajalah.
Tapi aku ingin malam ini!
Aku ingin malam ini kelaminku masuk dan kemudian mengeluarkan cairan dengan nikmat!
Kemudian
aku mengeluarkan penisku yang sudah tegang itu. Kata Tante punyaku ini
besar. Entah benar-benar besar, aku tak tahu. Sebab aku belum pernah
lihat punya orang lain.
Karena tidak ada Oom Ton, aku jadi makin
berani menggoda Tanteku. Seperti waktu sarapan tadi. Aku mengelus-elus
bahu dan lengan atasnya yang terbuka di meja makan. Bahkan mencium
pipinya.
“Hati-hati, To”
“Ya, Tante, Kan saya lihat-lihat keadaan dulu”
“Mar ada di belakang” katanya.
“Tante”
“Ehm ?”
“Tarto sayang Tante”
“Aku udah ada yang punya, To” katanya sambil mencubit pahaku. Aku senang.
“Ya. Pokoknya saya sayang” Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku ini.
“Semalam Tante ke mana. Saya tunggu-tunggu”
“Ya.
Tante tahu, kamu nonton TV. Kamu masuk kamar jam 10 ‘kan ? Masa’ mau
terus-terusan”. Aku lega, Tante tak tahu perbuatanku semalam yang
menyelinap ke kamar Mbak Mar.
“Iya dong. Mumpung ada kesempatan. Sekarang juga saya mau” kataku nakal.
“Gila, kamu To. Awas jangan sampai mengganggu sekolahmu!”
“Habis Tante betul-betul menggemaskan” Aku ngaceng lagi!
“Udah ah, berangkat sana, nanti telat”
“Tapi nanti lagi ya Tante, janji dulu”
“Lihat dulu nanti”
Bagaimana tidak mengganggu sekolah, seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan apa yang akan kuperbuat nanti bersama Tante.
***
Di
kelas aku jadi sering melamun, membayangkan waktu aku menyelusuri
seluruh permukaan dada Tante dengan mulut dan lidahku. Membayangkan
bagaimana kelaminku secara perlahan memasukinya…
Bel tanda pulang
berbunyi. Aku bersorak. Ingat ke rumah, ingat malam ini Tante menjadi
milikku. Akan kureguk semua kenikmatan dari tubuh Tante. Pokoknya nanti
akan kunikmati seluruhnya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki,
sampai puas.
Memang aku bisa puas, tapi bagaimana dengan Tante ?
Dua kali aku berhubungan kelamin dengan Tante, dua-duanya aku bisa
mengeluarkan spermaku ke dalam lubang kelamin Tante, sampai puncak,
sampai puas. Tapi Tante tidak. Aku jadi cemas, jangan-jangan nanti aku
juga begitu. Tapi aku ingat, yang kedua kemarin tante bilang aku ada
kemajuan. Hal ini sedikit menghiburku. Mudah-mudahan yang ketiga nanti
dengan bertambahnya pengalamanku, ada kemajuan lagi. Aku agak tenang
sekarang.
Di rumah sepi-sepi saja. Tak ada siapapun, juga Tante.
Aku makan siang sendirian. Tante mungkin ada di kamar, pintu kamarnya
tertutup. Kuselesaikan makan siangku dengan cepat, lalu duduk saja di
meja makan, berharap Tante akan keluar dari kamarnya. Setengah jam
berlalu, masih sendiri. Aku ke ruang keluarga nonton TV. Duduk di sofa
lalu ingat, kemarin di sini aku menikmati buah dada Tante dengan tuntas.
Diam-diam punyaku mulai tegak, padahal hanya membayangkan yang kemarin.
Ditambah lagi acara TV menyajikan fashion show di Sydney, Australia.
Peragawati cantik-cantik yang berlenggok di catwalk itu umumnya tak
memakai kutang. Kalau model bajunya berdada rendah, belahan dadanya
jelas. Kalau bahannya tipis, putingnya menonjol. Apalagi peragawati yang
punya dada besar, buahnya berguncang waktu ia melenggang. Aku tambah
tegang, makin pusing karena terangsang. Oh. Tante sayang, kemanakah
engkau. Aku membutuhkanmu sekarang!
Tiba-tiba pintu kamar Tante
terbuka. Aku menoleh. Kepala Tante nongol memberi isyarat padaku dengan
mengangguk-angguk. Nasibku memang beruntung. Jelas ini isyarat ajakan
masuk. Tapi masak di kamar itu, kamar pribadi Oom dan Tante. Aku ragu,
bengong saja belum bereaksi atas isyaratnya. Sekali lagi Tante
mengangguk, kali ini sambil mengedipkan kedua matanya. Dengan pasti aku
melangkah menuju kamarnya. Kepala Tante lenyap. Aku masuk langsung
menutup pintu kamarnya dan mengunci.
Di ranjang besar itu Tante
terlentang. Mengenakan baju tidur tipis, sehingga samar-samar celana
dalam dan kutangnya terlihat. Matanya sayu memandangku, berkaca-kaca.
Kutang itu bergerak naik-turun menandakan nafas Tante sudah memburu.
Aku tak tahan melihat pemandangan yang menggairahkan ini, segera saja aku menghampirinya. Tapi…
“Tunggu
dulu. Buka dulu dong, pakaianmu” perintahnya. Okey, tanpa dimintapun
aku akan membuka. Sementara aku membuka pakaian sampai telanjang bulat,
Tante memelorotkan celana dalamnya dengan posisi masih terlentang. Kini
di balik baju tidur tipis itu nampak rambut-rambut halus yang
menggemaskan itu.
Belum sempat aku bergerak, ada lagi ‘ulah’ Tante.
Ditariknya
gaun tidur tipis itu perlahan, memperlihatkan paha bulat itu. Ditarik
lagi keatas sampai pusarnya nongol. Kelamin berambut halus dan perutnya
terbuka terhidang di depanku. Luar biasa. Tante menyajikan ’strip tease
show’ di depanku! Ada-ada saja Tante ini.
Dengan ’senjata’ yang tegak keras aku menghampiri tubuh indah ini.
Kucium rambut-rambut halus itu sebentar. Gemasnya aku.
“Aaaaaaaahhhh” teriak Tante.
Aku
berpindah ke atas, kulumat bibirnya sambil meremas sebelah dadanya.
Kutang itu perlu disingkirkan dulu seharusnya, tapi aku tak sempat.
Tanganku sebelah lagi bergerak ke bawah. Eh, Tante sudah basah! Benjolan
dan pintu itu licin.
“Hhhhhhhhmmmmmmmm..” Tante tak mampu melenguh karena bibirnya aku kunci dengan bibirku.
Disingkirkannya
tanganku yang sedang asyik di bawah, dipegangnya kelaminku, lalu
diarahkannya ke ‘pintu’. Rupanya Tante ingin memulai sekarang. Mungkin
sama dengan aku, sudah sama-sama terangsang lebih dulu sebelum bergumul.
Aku terrangsang oleh bayanganku dan peragawati tadi, Tante terangsang
entah oleh apa.
Aku mulai ‘masuk’
“Aduhh! Pelan-pelan, To!” Tante mengaduh, memang masukku tadi agak kasar.
“Maaf Tante, habis engga tahan sih..”kataku tersengal.
Kamipun
saling menggenjot. Lucu kelihatannya kali ini. Tante masih mengenakan
gaun tidur dan kutangnya, kelamin kami sudah saling pagut…
Hasilnya, seperti kemarin.
Aku
‘keluar’ lebih dulu, sementara Tante belum terpuaskan benar. Kentara
dari pinggulnya yang masih mencoba menggoyang sambil kakinya menjepit
pinggangku.
Kembali aku kecewa.
Kalau kelaminku sudah
bergesekan dengan kelamin Tante, disamping rasa nikmat, juga rasa geli
luar biasa. Jika sudah geli begitu, aku tak sanggup lagi menahan untuk
jangan sampai ke puncak dulu.
Kembali aku gagal memuaskan Tante.
Kembali aku berusaha menetralkan suasana yang tak enak ini.
Kuelus
buah dada yang putingnya masih tegang itu dengan penuh perasaan, lalu
kucium perlahan. Tante mengusap kepalaku. Kucium pipinya dengan mesra.
“Tante..”
“Hmmm”
“Saya..engga..”
“Udahlah..Tante tahu. Kamu engga usah merasa apa-apa. Tante maklum kok. Kamu tadi lumayan, sudah ada kemajuan”
“Tapi Tante kan belum …”
“Engga usah kamu pikirin. Tante mengerti” katanya menentramkan sambil mengelus-elus dadaku.
“Saya engga bisa bertahan lama, Tante”
“Sudah lumayan, kok. Tante tadi juga merasa nikmat. Kamu udah mulai pintar mengocok tadi”
“Saya bisa merasakan Tante tadi belum puas”
“Iya, memang wanita membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding laki-laki. Tapi kamu tadi ada kemajuan dibanding kemarin”
“Tak adil rasanya. Saya merasakan kenikmatan luar biasa, sedangkan Tante belum”
“Sudahlah, To. Tak perlu kamu pikirkan. Tante mengerti”
“Terima kasih Tante” Kupeluk tubuhnya erat. Erat sekali.
Diciumnya pipiku, lalu merebahkan kepalanya di dadaku. Aku mengelus rambutnya.
“Tubuhmu atletis sekali. Dadamu bidang” katanya sambil tangannya menelusuri dadaku.
“Iya, Tante. Dulu saya kerja di kebun. Saya juga sering olahraga”
Tiba-tiba tangan Tante ke bawah menggenggam punyaku.
“Kelaminmu besar sekali”
“Ah, masa Tante. Saya kira biasa-biasa saja”
“Apalagi kalau lagi tegang”. Kulirik punyaku, sudah agak surut.
“Tubuh Tante luar biasa” balasku.
“Kalau lagi tegang keras dan panas” komentarnya lagi masih tentang penisku, mengabaikan pujianku.
“Buah dada Tante indah sekali”
“Ah, masa. Dibanding punya siapa” pancingnya.
“Siapa saja” Aku pura-pura terpancing.
“Berarti kamu sering lihat buah dada, ya” Kubalikkan badannya.
“Besar, bulat, kenyal, putih, licin, halus lagi” kataku sambil melihat dekat-dekat buah itu.
“Buah dada siapa yang kamu lihat” tanyanya sambil menggoyang-goyang kelaminku yang masih berada digenggamannya.
“Cuma baru ini” jawabku sambil mulai merabai permukaan dadanya.
“Jujur aja, To. Dada siapa yang pernah kamu lihat” katanya lagi. Tante penasaran rupanya.
“Sungguh mati Tante. Cuma punya Tante yang pernah saya lihat”
“Yang bener, To” tangannya tidak menggenggam lagi, tapi mengelus kelaminku.
“Benar Tante”
“Kok tahu bagus ?”
“Saya hanya lihat punya teman-teman sekolah. Itupun dari luar”
“Pernah kamu pegang ?” Tangannya masih mengelus, aku mulai terangsang.
“Ih, engga lah, Tante. Bisa gempar, dong”
“Jadi, tahunya punya Tante bagus, dari mana ?”
“Pokoknya, dari luar, punya Tante paling besar” Ujung jariku mempermainkan putingnya. Putting itu mulai mengeras.
“Tante”
“Hmm ?”
“Apa setiap buah dada ujungnya begini ?’
“Begini gimana”
“Panjang, mungil, tapi keras”
“Mungkin. Punyamu mulai keras”
Aku
seperti disadarkan. Memang aku sudah terangsang akibat percakapan
tentang dada dan elusan Tante pada kelaminku. Aku mau lagi. Kenapa tidak
? Mumpung masih ada kesempatan. Oom Ton paling cepat besok siang
pulangnya. Segera saja kukulum putting yang sejak tadi kupermainkan.
“Eeeeehhhhhmmmmmmm..” Tante melenguh panjang.
Tanganku ke bawah mencari-cari di antara ‘rambut-rambut’. Basah di sana. Kugosok yang basah itu.
“Uuhmmmm….Aaahhhhhhh..Uuhhmmmmm” desahnya agak keras, mengikuti irama gosokanku. Kelaminku diremas-remas. Enak.
“To… Hhheeeehhhggh..sedap, To..Hhheeeeeghh”
Tante
makin ribut, aku khawatir kalau sampai terdengar dari luar kamar. Ah,
tak ada orang ini. Aku makin giat menggosoki tonjolan kecil di bawah
sana.
Tante makin ribut, menceracau tak karuan
Gosok lagi.
Teriak dia lagi. Akhirnya…
“Udah, To.ampun..Ayo To, sekarang To, sekarang…!”
Aku
bangkit. Kelaminku yang sudah keras kupegang pangkalnya, kuarahkan.
Tante membuka kakinya lebar-lebar. Demikian lebarnya sampai kedua
lututnya ke atas, menyuguhkan kelaminnya yang membasah, tepat di depan
kelaminku.
Aku masuk.
Kudorong perlahan.
“Oooohhh, To..sedapnya….”
Sudah tenggelam separoh. Kudorong lagi.
“Aduuuuhhhh, mamaaaa, nikmatnya…” teriaknya lagi.
Kudorong lagi.
Sudah masuk seluruhnya.
Kurebahkan
tubuhku menindih tubuhnya. Tanganku ke belakang punggungnya. Kudekap
erat tubuhnya, lalu aku mulai menggenjot. Sedaaaaaaaapp.
Bertumpu pada kedua lututku, aku menarik dan mendorong pinggulku.
Nikmaaaaaaaaaattt.
Entah kata apa saja yang keluar dari mulut Tante aku tak peduli. Terus saja menggenjot, naik-turun, keluar-masuk.
Aku nikmati benar gesekan kelaminku pada dinding vagina Tante.
Kadang
selagi punyaku didalam, Tante “mengikat” pahaku dengan kakinya sambil
memutar pantatnya. Kurasakan sentuhan seluruh relung kelaminnya pada
kelaminku.
Luar biasa sedapnya.
“To…hhehh.kamu…hhehh..kok..hhehh..”Tante mencoba bicara disela-sela nafasnya yang memburu.
“Keenaapaa . hheehh.. Taanntee…hhehh”
“Kamu….kok…lama…”
Baru
aku menyadari, sudah puluhan kali kelaminku kugenjot keluar-
masuk-putar, tapi aku tak merasakan geli seperti biasanya. Yang
kurasakan hanya nikmat. Rasa geli yang tak bisa kutahan yang kemudian
membuat aku ke ‘puncak’, kali ini tak kurasakan! Heran!
“Engga …tahu.. Tante..”
“To, Oh my God..heeeehhhhhh”
“Enak…Tante…?”
“Wooow….luar biasa…”
Genjot dan genjot lagi
“Kamu..masih…lama..To..?”
“Masih…Tante.”
Memang aku belum merasakan “geli menuju puncak”
“Diam. dulu,.. To”
Aku menghentikan genjotanku. Posisiku masih “di dalam”.
Tangan
Tante memeluk erat punggungku, sementara kakinya mengikat pahaku. Lalu
tubuhnya bergerak miring hendak merobohkan tubuhku. Aku bertahan, tak
tahu maksudnya.
“Gantian, To…Tante di atas.”
Baru aku tahu maksud gerakan Tante ini. Kuikuti gerakannya, tapi..
“Jangan.sampai…lepasss”
Rupanya
gerakan robohku terlalu cepat, sehingga kelaminku sedikit tercabut.
Untung Tante cepat mengimbangi gerakanku, hingga punyaku “masuk lagi”.
Sekarang
kami sudah sempurna berbalik posisi. Tante yang menindihku. Hanya
sebentar. Tante lalu perlahan bangkit mendudukiku. Kelamin kami tak
terlepas. Tante mulai bergerak. Aneh, gerakannya maju-mundur! Rasanya
lain pula, tapi sama sedapnya! Dengan posisi begini gesekannya terasa
lain. Kadang diputar, seperti diperas. Kadang Tante “jongkok”, pantatnya
naik-turun, sedap juga.
“Aaaahhhh..kamu..nakal” teriaknya ketika dia berjongkok membenamkan kelaminku, aku mengangkat pantatku.
Kedua tanganku diraih, dituntun ke dadanya. Kuremas dada yang tambah licin kena keringat.
Entah
sudah berapa lama akhirnya Tante capek juga. Dia rebahkan tubuhnya.
Kupeluk. Kumiringkan, aku ingin di atas lagi. Tante menurut. Dengan
hati-hati kami mengubah posisi, agar jangan terlepas. Aku berhasil.
“Kamu…udah..pintar..”pujinya.
Dengan posisi di atas aku jadi bebas menggenjot. Lagi-lagi Tante teriak.
“Terus..To.., Tante…hampir…”
Terus. Tusukanku makin menggila. Teriakannya makin keras.
Rasa
geli datang, dimulai dari ujung penis, terus menjalar ke seluruh tubuh.
Makin geli. Makin cepat aku menarik-tusuk.
Kesemutan…mengambang..melayang..dan…….
“Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh….”
Seeeerrr,
denyut-denyut, seeerrr, bergetar, serrrrr, berguncang..seer. Entah
sudah berapa kali seerr, yang jelas setiap kali keluar aku merasakan
kenikmatan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Begitu nikmat.
Aku sampai lupa memperhatikan tingkah Tante. Badannya telah bergeser ke
atas karena ku”dorong” dengan tusukanku. Bantalnya bukan lagi di kepala,
tapi di punggung. Sedangkan kepala terkulai, mata melihat ke atas,
bibir terkatub rapat seluruh tubuh gemetaran. Teriakannya ? Tak perlu
kuceritakan. Agak lama juga aku dan Tante bergetaran begini, merasakan
puncaknya kenikmatan hubungan kelamin…….
Lalu, hanya nafas kami berdua yang terdengar, seolah berebut mengisap oksigen untuk mengembalikan enerji yang keluar.
Lalu barangsur pelan, makin beraturan.
Tante masih “terkapar”
Aku lunglai di atas tubuhnya.
Ini
keempat kalinya aku bersetubuh dengan Tante. Yang terakhir inilah
kurasakan sangat berbeda dibanding tiga kali yang terdahulu. Lebih
nikmat, lebih memuncak, lebih lama, lebih banyak aku mengeluarkan
“air”ku, lebih bergetar, pokoknya …..susah diceritakan. Pengalaman baru
tentang rasa nikmat.
Dan lagi, mudah-mudahan pengamatanku tak
salah, Tante begitu menggelepar, mengerang, teriak, berbeda dengan
sebelumnya, Tante kali ini kelihatan “selesai”. Semoga begitu.
“Ooh..To., kamu hebat” Diciumnya pipiku dengan gemasnya.
“Apanya yang hebat, Tante”
“Kamu betul-betul lelaki” tambahnya
“Memang dari dulu saya laki-laki. Ini buktinya” Kusodorkan kelaminku, menusuk perutnya.
“Laki-laki yang jantan” diremasnya penisku dengan gemas.
“Auu” teriakku
“To…luar biasa..” Tak putus-putusnya ia memujiku.
“Enak engga tadi, Tante ?”
“Wow. bukan main. Sangat!”
Kupeluk tubuhnya. Aku merasa bahagia sekali.
“Tante sayang..” Aku berbisik semesra mungkin.
Agak kaget Tante memandangku, lalu tersenyum. Manis sekali!
“Ada apa ‘yang ?” Wuih, mesra banget. Tante memanggilku ‘yang’.
“Saya sayang Tante” Kucium bibirnya.
“Hhmmmmmmm” lenguhnya.
“Kalau lama, enak sekali ya Tante”
“Kok kamu tadi bisa lama”
“Engga tahu, Tante. Mungkin karena tadi ronde kedua”
“Atau mungkin karena kamu udah mulai pandai”
“Yang pandai gurunya”
“Huuuu” cibirnya sambil mencubit kontolku. Aku senang.
“Guruku yang cantik”
Dicubitnya hidungku.
“Dan berpengalaman” godaku lagi.
“Aaah, udahlah, To”
Kami diam lagi.
“To.” panggilnya tiba-tiba.
“Ya.sayang”
“Jangan tinggalin Tante, Ya”
“Oo, engga dong. Masa Tante yang jelita begini mau ditinggalin”
“Tante serius, To”
“Saya juga serius, Tante. Saya membutuhkan Tante. Saya ingin begini setiap hari, Tante”
“Saya butuh kamu” Nah ini baru pernyataan. Ini pernyataan baru. Tante membutuhkanku ? Bukankan ia punya suami ?
“Oom Ton gimana Tante”
Tiba-tiba wajah Tante berubah, agak sedih kulihat.
“Tante….ah
engga. Pokoknya kita harus hati-hati, To. Ingat pesanku ‘kan ? Tante
juga senang kita bisa begini terus. Tapi hati-hati, ya ?”
“Pasti, Tante. Saya akan hati-hati. Tapi Tante mau kan, tiap hari”
“Nanti kamu bosan”
“Saya
sudah bilang, Tarto sayang Tante. Tarto butuh Tante. Tarto ingin
menikmati setiap hari. Tadi Tante bilang membutuhkan Tarto. Maksudnya
gimana Tante ?”
“Iya.sama seperti kamu, Tante juga ingin setiap hari”
Klop
‘kan ? Keinginan yang sama, saling membutuhkan, saling memuaskan,
dan….saling menyayangi. Apakah ini yang dinamakan cinta ? Ya, apakah
kami saling mencintai ? Aku memang tak ingin kehilangan Tante, tapi
Tante sendiri bagaimana ? Apakah ia membutuhkanku karena mencintai
keponakannya ini ? Atau karena aku baru saja memuaskannya ? Bagaimana
dengan suaminya ? Jangan-jangan ia tak mendapatkan kepuasan dari Oom Ton
? Aku ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan terakhir ini, tapi mana
berani aku menanyakan langsung kepada Tante. Ah, itu tak penting. Yang
penting, aku sekarang punya kekasih yang luar biasa, yang bisa membuatku
melayang-layang di puncak kenikmatan.
Lelah benar aku malam ini.
Bayangkan, malam ini dua kali aku “bertempur”. Terutama yang terakhir
tadi, permainan lama yang betul-betul menguras tenagaku. Aku sekarang
ingin istirahat.
Masih agak sempoyongan aku bangkit mengumpulkan pakaianku.
“Mau ke mana To ?”
“Saya ingin tidur, Tante”
“Sudah tidur sini aja, temanin Tante”
“Saya senang sekali Tante, tapi besok Oom ‘kan pulang ?”
“Paling
cepat besok siang” Aku memperhatikan Tante yang dengan malas bangkit.
Tubuh wanita ini memang luar biasa. Aku benar-benar beruntung
mendapatkannya. Masih telanjang bulat Tante berjalan menuju kamar mandi.
Tak lepas mataku menatapnya.
“Kenapa, To” Tante merasa aku tatap begitu.
“Tante memang indah” kataku sambil bergantian menatap dada dan ‘rambut’ bawahnya.
“Kamu memang nakal. Sudahlah, bersih-bersih dulu baru kita tidur”
Di
dalam kamar tidur Tante yang luas ini ada kamar mandi yang luas pula.
Ada dua wastafel cermin lebar, bath-tube, dan tempat untuk mengguyur
(douce) yang berpintu kaca agak buram.
Di bath-tube kami saling membersihkan, Tante menyabun tubuhku sementara aku mengguyur tubuhnya, lalu gantian. Ah, mesra sekali.
Lalu
berdua kami tidur berpelukan dibawah selimut yang hangat, tanpa
pakaian. Tante yang punya ide begini. Enak juga. Jam dinding menunjuk
waktu 11.32. Dua ronde permainan makan waktu hampir 3 jam. Pantas saja
aku lelah.
Dengan tergagap aku terbangun. Dimana aku in ? Tante
masih ada di pelukanku. Kulihat sekeliling, ah aku tidur di kamar
pribadi Oom Ton dan Tante Yani!
Ada rasa enak di bawah sana. Ooh,
Tante sedang asyik mengelus-elus penisku yang tegang. Setiap bangun
pagi, tanpa dieluspun penisku memang tegang. Elusan ini yang membuat aku
terbangun. Kulihat jam dinding, pukul 05.17. Ah , sudah pagi, aku harus
siap-siap. Tapi Tante ini..
Tante memandangku, tersenyum, seperti biasa : manis.
“Punyamu udah keras, To” Buah dada itu menyembul karena terpepet dadaku. Aku terangsang.
Langsung
saja aku raih buah indah itu. Putingnya sudah keras. Kami berpagutan.
Aku ingin tahu kesiapan Tante pagi ini, tanganku ke bawah sana. Sudah
basah rupanya. Mengingat waktu, aku ingin segera mulai. Tantepun paham.
Kembali aku melakukan ‘pertempuran’ panjang melawan Tante.
Rasanya jalan ke puncak masih lama.
Aku mempercepat “pompaan”ku
Belum juga.
Aku terus melumat bibir Tante, mencegah “kicauan”nya yang makin keras, khawatir terdengar Mar yang sangat mungkin sudah bangun.
Ganti posisi
Percepat lagi.
Hampir
Ubah posisi
Akhirnya, aku makin yakin seperti yang Tante katakan, bahwa aku lelaki tulen, jantan, hebat….
Pagi yang melelahkan sekaligus menyegarkan……!
Tante
memberikan bukti, bukan hanya janji. Kami bersetubuh hampir tiap hari,
kecuali kalau Tante senam. Waktu yang dipilihnya adalah siang hari,
waktu saya baru pulang sekolah, di kamarku. Ini demi keamanan. Siang
hari adalah saat yang paling aman. Saat Si Mar sedang sibuk bekerja di
belakang, Si Luki bermain dengan pengasuhnya di rumah sebelah, dan saat
Oom Ton belum pulang kantor. Siang hari memberikan Tante cukup waktu
untuk membersihkan diri, menghilangkan “bekas”.
Aku jauh dari
bosan, seperti yang dikhawatirkan Tante. Karena aku memang sangat
menikmati hubungan ini. Faktor lain yang membuat aku tak bosan adalah
kreativitas Tante. Seperti yang kukemukakan di awal tulisan ini, ada
saja ide Tante untuk membuat kejutan untukku setiap berhubungan kelamin.
Entah itu posisi berhubungan, atau acara “pembukaan”, tambahan ronde,
dan lain-lain yang membuat aku merasa “lain”.
Pernah sekali waktu
ketika aku pulang sekolah, ia sudah siap di dipanku memakai selimutku
sebatas dada dan tak memakai apa-apa lagi di balik selimut itu. Kejutan
yang membuatku “terbakar”.
Lain kali lagi ia memintaku “masuk”
dari belakang. Bertumpu pada lututnya ia ‘nungging’, aku bermain sambil
memegangi pantatnya yang bahenol itu.
Saat yang lain lagi, kami
‘bertempur’ di atas meja belajarku. Ia duduk di pinggiran meja membuka
kaki, aku ‘masuk’ sambil tetap berdiri.
Pernah juga di kursi
belajarku. Aku duduk di kursi yang dirapatkan ke dinding, ia duduk di
atas pahaku berhadapan. Dengan posisi begini ia bebas “memilih” posisi
tusukan kelaminku di vaginanya. Posisi atau gaya apapun, yang jelas
membuat kami berdua menuju puncak bersamaan atau hampir berbarengan.
Kejutan yang susah kulupakan serta merupakan pengalaman baru bagiku adalah seperti yang akan kuceritakan di bawah ini.
Seperti
yang sudah-sudah, pulang sekolah setelah ganti baju, aku langsung
menemui Tante meminta “jatah” bersetubuh. Aku sebut jatah karena kalau
malam hari Tante bukan milikku lagi, tapi jatah suaminya.
Siang
itu ruang tengah sepi, Tante mungkin ada di kamarnya, kulihat pintunya
sedikit terbuka. Aku ingin masuk ke kamarnya, kali ini aku ingin main di
kamarnya, karena sejak “semalam 3 ronde” itu aku tak pernah lagi making
love di kamar itu, selalu di kamarku. Kuperiksa keadaan sekeliling
dulu. Aman.
Aku masuk kamarnya. Tante mengenakan kimono sedang
mengikat rambutnya. Kukunci pintu, kupeluk Tante dari belakang,
menggerayangi. Tak ada apa-apa lagi di balik kimono itu.
“Hhmmmmm..sebentar ya ‘yang, Tante mau mandi dulu”
“Engga usah mandi juga Tante tetap wangi” kataku terus menjelajahi tubuhnya.
“Entar biar segar. Sabar dulu ya..” Aku menghentikan aksiku.
“Saya ikut mandi Tante” kataku bercanda.
“Ayolah, kita mandi bareng” Tak kusangka Tante menganggapnya serius. Ayo, kalau begitu.
Aku
langsung bertelanjang, menuntun Tante memasuku kamar mandi. Tante
membuka kimononya, bertelanjang bulat juga, masuk ke ruang douce. Tak
bosan-bosannya aku memandangi tubuh indah ini, padahal hampir tiap siang
aku menggumulinya.
“Ayo, To” ajaknya.
“Kita main di sini Tante ?” nakalku timbul.
“Hush, sekarang kita mandi dulu, kapan-kapan bolehlah”
Tanganku
yang bersabun menggosoki dadanya. Di bagian putting sengaja
kutekan-tekan. Tante juga menggosok dadaku dengan sabun. Lalu perutnya,
dan ke bawah lagi. Tangan Tante juga ke bawah. Diusapnya dengan sabun
‘rambut’ bawahku, kemudian dipegangnya batang kelaminku, digosok juga.
Karuan saja batang itu membesar.
“Hiiiiii, bangunnya cepet bener”
Aku menikmati gosokannya. Tante benar-benar teliti, semua bagian dari
alat vitalku itu dibersihkan dengan sabun lalu diguyur. Enak.
Aku
ikut-ikutan. Seluruh bagian kelaminnya aku bersihkan. Kalau aku lagi
menggosok “pintu” kelaminnya, kulihat mata Tante merem-melek keenakan.
Selesai mengeringkan badan aku langsung menubruk Tante.
“Heee,
jangan disini To, ingat dong” Oh ya. Siang begini terkadang si Luki
suka masuk ke kamar, tentu diikuti si Tinah. Berbahaya.
Aku berpakaian, hanya pakaian luar saja, pakaian dalam aku bawa, menyingkat waktu.
“Hiiiii, lucu.” kata Tante mengomentari tonjolan di celanaku. Tantepun hanya memakai daster, tanpa pakaian dalam.
Aku
masuk kamarku duluan, langsung berbugil. Sejurus kemudian Tante
menyusul, juga langsung bertelanjang bulat. Kami langsung bersatu,
saling raba dan saling pagut. Kali ini mungkin tak ada kejutan yang
dibuat Tante. Atau ya itu tadi, mandi dulu sebelum main. Betul juga kata
Tante, lebih segar.
Aku meringkik kegelian ketika Tante menciumi pusarku. Ini mungkin kejutannya, tak biasanya Tante begitu.
Tapi,
Tante terus ke bawah menciumi ‘rambut’ku. Lebih kaget lagi, tangannya
menggenggam kelaminku dan mulai menciumi barang yang sudah mengeras itu!
Bukan main! Geli-geli nikmat. Bahkan..
“Aaaaaaaahhhh” aku mengerang ketika kepala penisku dimasukkan ke mulutnya!
Luar biasa nikmatnya. Ini rupanya mengapa Tante begitu teliti membersihkan kelaminku waktu mandi tadi.
“Tante…”
Tante
seolah tak mendengar panggilanku, terus saja asyik melahap barangku.
Tante sanggup memasukkan barang itu hingga separohnya. Sewaktu di dalam,
jelas kurasakan lidah Tante ikut bermain menggelitiki penisku. Woooow
sedapnya tak terkira .!
Sungguh ini pengalaman baru bagiku.
Nikmatnya terasa lain. Entah apa yang dirasakan oleh Tante. Kok
mau-maunya ia melakukan ini. Aku sih keenakan. Aku perhatikan bagaimana
ia sibuk mengeluarkan-memasukkan penisku, kepalanya naik-turun berirama.
“Aaaahhhhhhh…hhmmmmmmmm…ssssshhhhhhhh..sed
ap, .. Tante., …Tante..pintar .sekali…” celotehku menahan nikmat.
Bagaimana nanti kalau aku tak mampu menahan diri ? Masa aku
menyemprotkan spermaku ke mulut Tante ? Ah, bagaimana nanti saja, yang
penting sekarang….sedaaaaaaaaaap.
Tiba-tiba Tante melepas
“makanan”nya, disapunya barangku dengan kain dasternya yang tergeletak
di dipan. Aku merasa kehilangan sesuatu. Dikeringkan. Lalu…dikulum
lagi…! Nikmaaaaat..
Dilepaskannya lagi, barangkali mau dilap lagi. Ternyata tidak, badannya digeser sehingga kaki Tante berpindah ke arah kepalaku.
“To, .. ayo cium, To..”katanya terengah. Sejenak aku bengong tak mengerti permintaannya.
“Kamu
cium ini…” katanya kemudian sambil menunjuk ke selangkangannya. Okey,
Tante, toh aku sudah sering mencium ‘rambut-rambut’ halusmu itu. Aku
mulai mencium.
“Ke bawah lagi, dong To..” Ke bawah ? berarti disitunya ? Hal baru, kenapa tidak ?
Kucium tonjolan kecil yang sudah keras itu. Asin rasanya.
“Aaaaaaaahhhhhhhh, sedap To, terus…”
Kini lidahku yang menyapu-nyapu pintu dan tonjolan tadi
“Yaaaahhh. yaaaaaa…begitu enak…” katanya sambil mulutnya menyergap lagi batang kelaminku.
Ada cairan yang asin rasanya.
Di kemudian hari aku baru tahu bahwa yang sedang aku dan Tante lakukan sekarang ini namanya “posisi 69″
Dalam
mengulum ini Tante pintar sekali, banyak variasinya. Keluar-masuk,
kadang menyedot-nyedot, bermain lidah, sesekali menggigit (aku langsung
teriak).
Akupun diajarinya bermain. Menggelitik ‘lubang’ dengan
lidahku, menggigit kelentitnya (pelan, tentu saja), menyapu bibirku ke
“bibir”nya.
Asyik juga bermain seperti ini. Masing-masing sibuk, masing-masing merasakan nikmatnya.
Entah
sudah berapa lama kami bermain begini. Untung saja aku berhasil menahan
diri untuk tidak keluar. Aku sekarang memiliki ketrampilan baru untuk
mengontrol diri, mengatur diri kapan saatnya ‘keluar’. Kalau tidak, masa
aku menyiram mulut Tante dengan maniku.
Sampai akhirnya….
“Ayo, To….sekarang.To….”
Aku memutar tubuhku, sementara Tante rebah terlentang membuka kakinya, siap menerima tusukanku.
Aku masuk dengan gemas.
Tante menerima dengan antusias.
Untuk kesekian kalinya kami saling menggenjot.
Bersama menuju puncak.
Berbarengan menggelepar.
Sudah itu
Sama-sama lemas
Sama-sama puas.
Oh, betapa bahagianya aku.
Kebutuhan lahir dan batin terpenuhi.
Kurang apa lagi ?
***
Tak
ada yang kurang pada diri Tante. Cantik, putih, tubuh bagus, permainan
di tempat tidur luar biasa, dan kreatif. Kreativitas Tante tercermin
dari cara bersetubuh. Ada saja yang dilakukannya yang membuatku merasa
bersetubuh dengan orang baru. Selalu ada hal baru dalam setiap
permainannya. Sejak Tante memperkenalkan “posisi 69″, aku selalu minta
dikulum penisku sebagai acara pembukaan. Tante juga amat menikmati
permainan lidahku di vaginannya.
Seperti biasa sepulang sekolah aku mendekati Tante untuk melaksanakan ‘tugas’ rutin, bersetubuh.
Aku
sudah membuka resleting celanaku, mengeluarkan penisku yang tegang di
dekat Tante yang sedang duduk di tepi ranjang, masih berpakaian lengkap,
di kamar Tante yang sudah kukunci. Yah, semacam pemberitahuan bahwa aku
sudah siap. Tapi tante menyambut dengan dingin, tak seperti biasanya.
Ia hanya mengelus-elus. Ketika dengan kurang ajar aku mendekatkan
kelaminku ke mulutnya, ia hanya mengecup lembut kepalanya, tidak dikulum
seperti biasanya, paling-paling hanya menggenggam.
“Tante engga bisa sekarang, To”
“Kenapa Tante ?”
“Tante lagi …itu..”
“Lagi apa, Tante ?”
“Lagi mens.”
“Mens ? Apa itu Tante ?”
“Kamu engga tahu ?”
“Bener, Tante. Saya sungguh engga tahu” Memang aku tidak tahu.
“Begini, setiap bulan wanita yang sudah dewasa mengalami masa menstruasi. Wanita yang normal pasti mengalami”
Lalu Tante memberiku kuliah tentang menstruasi itu. Bahkan ditunjukkannya kepadaku celana dalamnya yang berbalut itu.
“Kalau begitu, besok saja ya, Tante” pertanyaan bodoh memang.
“Engga bisa To. Masa mens biasanya sekitar seminggu. Tapi kalau Tante sekitar 4 – 5 hari.”
Wah, menunggu 4 – 5 hari, mana tahan ?
“Tapi Tante, saya ingin …”
“Engga, To. Sabar aja ya, yang…”
Aduh, pusing juga aku, keinginan sudah sampai ke kepala.
“Bagaimana kalau begini saja Tante..” Kataku sambil menempelkan penisku ke bibir Tante, minta dikulum.
“Engga bisa juga, To. Itu namanya kamu egois. Kamu bisa puas, tapi kalau Tante terangsang, gimana ?” Benar juga kata Tante.
“Maafkan saya, Tante. Saya sungguh-sungguh belum tahu” kataku sambil memeluknya dengan mesra.
“Engga apa-apa, To. Tante maklum”
Dimasukkannya penisku, celana dalamku dibetulkan letaknya, lalu ditutupnya resleting celanaku. Mesra sekali.
“Awas, ya. Jangan cari sasaran lain” katanya.
Kucium kedua belah pipi Tante, dengan mesra juga.
“Engga dong, Tante. Emangnya apaan.”
Ternyata ada yang belum aku ketahui tentang wanita
Sekarang masalahku, mana bisa aku menunggu 4 – 5 hari tanpa bersetubuh, setelah hampir tiap hari menikmati.
Pulang sekolah agak kaget aku mendapati Tante duduk di sofa, membaca. Kucium pipinya.
“Engga senam, ‘yang ?”
“Engga, lagi banyak-banyaknya”
“Apanya yang banyak ?”
“Ah,
kamu. Ya mens-nya” Aku mengerti. Tapi berarti hilang juga kesempatanku
siang ini menyatroni mBak Mar. Paling tidak aku harus menunggu 2 hari
lagi, jadwal senam Tante berikutnya, atau menunggu sampai Tante
“bersih”.
Malamnya, terkantuk-kantuk aku menunggu Oom Ton dan
Tante masuk kamar. Pukul 10.15 mereka masih asyik menonton TV. Aku masuk
kamar duluan, gelisah. Setengah jam berikutnya kudengar TV dimatikan,
lampu tengah juga, lalu kudengar suara pintu ditutup dan dikunci.
***
Sengaja
aku datang ke sekolah lebih pagi. Hari in ada ulangan Fisika dan aku
merasa belum siap. Di rumah aku tak bisa konsentrasi belajar, ingatanku
ke Tante melulu. Apalagi sekarang udah beberapa hari aku tak bersetubuh,
pusing aku, mana bisa belajar di rumah. Pagi ini kesempatan terakhirku
untuk belajar Fisika menghadapi ulangan nanti. Belum banyak kawan yang
datang, cuma ada Tono, Edi dan Rika yang lagi ngrumpi. Dito belum
nongol. Aku ambil bangku paling belakang, mojok, lalu mencoba
berkonsentrasi. Lumayanlah dalam setengah jam aku bisa memecahkan
soal-soal yang kuperkirakan akan keluar nanti. Juga beberapa rumus
sempat “masuk’ ke otakku, sampai seseorang datang menghampiriku dengan
senyuman yang amat manis. Yuli memang manis, apalagi kalau senyum. Masih
ingat dengan Yuli, pembaca ? Yuli teman sekelasku yang kugambarkan
badannya biasa-biasa saja, dadanya menonjol wajar dan wajahnya manis.
Akhir-akhir ini kami makin akrab, sebatas dalam pelajaran lho! Sering
saling meminjam buku catatan, diskusi soal-soal PR, atau cuma ngomongin
guru-guru. Makin dekat kurasakan Yuli makin menarik, dadanya makin
menonjol aja. Aku sudah berada di pelukan Tante sih, jadi aku kurang
memperhatikan Yuli. Entah ini hanya ge-er saja, kulihat Yuli begitu
ceria kalau berdekatan denganku.
“Rajin bener. belajar Fisika ya..?” tegurnya sambil duduk di sebelah kananku.
“Ah engga. Justru karena aku males, baru sempet belajar sekarang” sahutku
“Pinjam catatan Matematiknya dong Tar”
“Matematik ? Kan entar ulangan Fisika”
“Iyyaa. Tapi kemarin gua engga sempet nyatet jawaban soal kemarin”
Aku
ulurkan buku Matematik, sambil memgang tangannya. Yuli membiarkan
tanganku meremas tangannya, meskipun kemudian dia tarik tangannya,
without any words. Tanda “penerimaan”. Tangannya halus bener .. Lalu dia
dengan serius memelototi catatanku itu. Anak ini memang serius banget
kalau belajar. Mataku tak lepas memperhatikannya. Dia mungkin tahu aku
melihatnya, tapi pura-pura tidak tahu. Ah .. Ini dia. Di sela-sela
kancing bajunya, aku sempat “mencuri” keindahan sebelah buah yang tumbuh
di dadanya. Hanya sedikit sih, tapi cukup membuatku “berdiri”. Apalagi
daging itu terlihat sedikit naik-turun seirama tarikan nafasnya. Ah
seandainya ..khayalanku melayang tinggi. Kuperiksa keadaan sekeliling.
Masih sepi, memang masih pagi sih. Hanya ada 2 kawan yang tadi, lagi
asyik menulis. Sekaranglah waktunya! Toh 2 teman tadi menghadap ke depan
kelas, tak akan melihat bila aku “menggarap” Yuli.
Segera saja
tangan kananku merangkul bahu Yuli. Tak ada reaksi. Aksi kuteruskan
dengan memegang dagu dan menariknya. Mata Yuli sedikit membelalak, agak
kaget mungkin, tapi tak ada tanda-tanda penolakan. Ah. bibir merah
membasah yang menggairahkan. Kucium bibirnya. Dan … Yuli membalas ganas
ciumanku..!
Tanganku mulai membuka kancing baju putih itu, lalu
empat jariku menyusup ke balik BH-nya. Halus, padat, dan lumayan besar.
Aku meremas. Yuli melenguh. Jariku mencari-cari putingnya. Mengeras.
Tangannya kepangkuanku. Meremas juga. Sambil masih berciuman, aku
melirik dua temanku tadi, mereka masih tak acuh sibuk sendiri. Aman!
Bibirku
menelusuri lehernya yang licin, terus kebawah. Kancing bajunya sudah
terbuka semuanya. Kulepas baju seragamnya, lalu kudorong Yuli hingga
rebah di bangku sekolah!
Aku menindihnya hingga tubuh kami
“lenyap” dari pandangan teman-teman tadi kalau mereka menengok ke
belakang. Kuciumi habis-habisan kedua bukit perawan itu. Aku yakin bukit
kembar ini belum tersentuh oleh “pendaki” manapun. Keras, dan padat.
Aku tak sanggup menahan lagi. Walaupun pakaianku masih lengkap nempel di
badan, tapi meriamku sudah nongol tegak dari rits celana, siap.
Kusingkap rok abu-abu itu jauh-jauh ke atas. Kupelorotkan celana dalam
krem-nya…
Amboi … bulu-bulu halus, merata di seluruh permukaan
kewanitaanya.. Luar biasa.. Masa aku kerjain di sini, di kelas ? Biar
saja. Kalau nanti ketangkap basah gimana ? Peduli amat. Kalau sudah
begini, mana bisa “delay”, apalagi “cancel”. Lagi pula Yuli sudah
merintih-rintih sambil membuka pahanya agak lebar. We got the point no
return!
Mulai sekarang ? Ya, tunggu apa lagi. BH-nya masih
nempel. Biar saja, tak ada waktu lagi. Kutempatkan penisku ke “tempat
yang layak”. Menyapu-nyapu sebentar di seputar pintu-basahnya, lalu
mulai menusuk.
“Uuuuhhhhhh ..” Yuli melenguh.
Mentok. Padahal baru “kepala”ku yang tenggelam. Tusuk lagi dengan menambah tekanan.
“Aaaahhhhh .pelan ..pelan ..sakiiit…” Desahnya pelan dan terbata-bata.
Buset!
Susah bener. Vagina yang satu ini sempit benar. Apa betul, Yuli masih
perawan .? Mungkin juga. Sebab biasanya kalau sama Tante Yani tusukan
begini sudah mampu mencapai “dasar”.
Aku tusuk lagi lebih kuat, bahkan sekuat tenagaku. Dan …..
“Heh! ngelamun aja!”kudengar suara agak membentak. Suara Yuli!
Aku tersadar.
Aku kembali ke alam nyata.
Kembali dari lamunan nakal.
Lamunan bersetubuh dengan gadis yang duduk di sebelahku ini.
Gadis yang baru saja mengagetanku!
Ah.sialan. Kenapa aku begini ?
Gara-gara mengintip sedikit buah Yuli, aku jadi melayang..
***
Hari
berikutnya aku kurang beruntung. Tante ada di rumah mengajakku ngobrol.
Hanya ngobrol. Sayang sekali tubuh molek ini belum bisa “dipakai”.
Sembulan dada bagian atas Tante dan sedikit belahannya cukup membuatku
kepingin.
“Tante…” panggilku dengan suara serak”
“Hmm ?”
“Saya pengin, Tante”
“Kamu itu, engga sabaran, engga pernah puas”
“Bukan begitu, Tante. Saya puas, puas sekali. Cuma ketagihan, habis enak sih. Udah biasa setiap hari…”
“Sabar, dong” katanya sambil menggenggam selangkanganku.
“Eh, udah keras..” katanya lagi.
“Iya, Tante. Saya siap setiap saat” kataku meniru iklan
“Dasar…….! Dua hari lagi”
“Lama bener..”
Besok siangnya lagi, ada kejutan baru untukku. Tidak bersetubuh sih, tapi menyenangkan.
Tante
sedang duduk di sofa menyulam. Begitu datang aku langsung menyingkirkan
kain sulamannya, lalu kucium pipi dan kemudian bibirnya. Aku langsung
tahu bahwa dibalik gaun merah jambu, warna kesukaannya, Tante tak
memakai BH.
“Mandi dulu sana, To”
“Udah bisa, Tante ?” tanyaku cerah.
“Ih, kesitu aja pikiranmu. Belum, belum bersih” jawabnya sambil menuntun tanganku ke bawah perutnya. Masih ada pembalut di sana.
“Jadi, gimana dong Tante” kuremas dadanya yang tak berkutang.
“Pokoknya kamu mandi dulu”
Aku mandi dan mengganti baju dengan penuh harap, barangkali ada kreativitas baru dari Tante.
Aku
keluar kamar. Ini dia kejutannya. Tante masih duduk di situ, hanya
kancing gaunnya telah dibuka sampai perut, mempertontonkan sepasang buah
dada yang mengagumkan. Luar biasa. Berani benar Tante ini, bertelanjang
dada di ruang tengah. Jelas belum bisa bersetubuh, tapi kelakuan Tante
ini menandakan ada permainan apa lagi nih.
Langsung saja kuserbu buah dada itu.
“Eeeeehhhhmmmmmm” Dengan gemasnya aku mengacak-acak buah indah itu dengan mulut dan tanganku.
Belum puas aku bermain dengan dada, Tante mendorongku sampai aku berdiri di depannya. Lalu.Tante membuka kancing jeans-ku!
“Tante… Si Mar nanti…..”
“Engga ada, lagi pergi…”
Dibukanya
resleting celanaku, diturunkannya celana dalamku, lalu dikeluarkannya
penisku yang langsung tegang, digenggam pangkalnya, terus diciumi
‘kepala’-nya, lalu masuk mulutnya!
Ooooohhh, nikmat sekali
permainan baru ini. Suasana baru. Bayangkan. Di ruang tengah, berdua
masih berpakaian, aku hanya mengeluarkan kelaminku, Tante mengulumnya
dengan bertelanjang dada! Oh, indahnya dunia ini.
“Ooohhhhhhhhh, Tante, …sedaaaaappp.”
Kepala Tante bergerak maju-mundur, sangat perlahan. Terasa sekali bibirnya menjepit dan bergerak menelusuri permukaan penisku.
“Tante..Tante…enaaaaaaaak, Tante..”
Tante
terus saja. Tanganku dituntun ke buah dadanya. Aku sampai lupa diri tak
berbuat apa-apa pada Tante. Habis sedap sekali sih!
Kedua tanganku meremasi sepasang buah kenyal itu. Tante terus bekerja. Geli, Tante…!
Ya,
geli. Aku hampir ke puncak. Entah mengapa kali ini aku cepat mendaki.
Mungkin karena pintarnya bibir dan lidah Tante merayapi permukaan kulit
kelaminku, atau karena suasana yang aneh ini.
Aku tak mampu menahan lebih lama lagi.
Tante
rupanya tahu kalau aku hampir sampai, ia mempercepat gerakannya.
Bagaimana kalau keluar, aku tak tega kalau sampai menumpahi mulut Tante
dengan spermaku.
Segera..ya..segera sampai….
Dilepasnya kulumannya, tangannya yang memegang sapu tangan secepat kilat menutupi kelaminku dan digenggam.
“Aaaaaaaaaahhhhhh” sambil berteriak aku muncrat. Sedaaaaaaap.
Tante meremas.
Muncrat lagi, enak, meremas lagi, muncrat, nikmat, remas, sedap, muncrat, remas….
Beberapa
detik aku terbang, kakiku goyah, lalu mendarat ditubuh Tante. Kucium
mulutnya. Masih ada muncratan lagi, tertampung di saputangan. Ada lagi,
makin sedikit…..
Beberapa saat aku masih menubruk Tante, ia masih menggenggam dengan saputangan.
“Terima kasih, Tante…”
“Enak, To ?”
“Sedaaaaaaap, Tante. Tapi lebih nikmat ke sini…” jawabku sambil memegang benda yang masih berpembalut itu.
“Masih pusing ?”
“Hilang, Tante. Lepas sudah…” Keteganganku memang lepas.
“Tante sendiri, gimana dong, Tante ?”
“Engga apa-apa. Ini ‘kan cuma membantu kamu”
Kupeluk lagi Tante lebih erat. Aku makin sayang saja sama Tanteku ini.
“Terima kasih, Tante. Tarto makin sayang sama Tante” kataku jujur.
“Sudah, cuci dulu sana. Ih, banyaknya….”
“Iya, habis sudah tiga hari engga keluar.”.
***
Sejak
peristiwa ‘penguluman di ruang tengah’ kemarin itu aku jadi makin
berani ‘kurang ajar’ kepada Tante. Seperti siang ini. Waktu Tante sedang
duduk membaca di ruang tengah, aku mendekatinya dari belakang dengan
kelaminku sudah kukeluarkan, terjulur kutempelkan di pipi Tante.
“He, ngawur kamu.!” Tante kaget. Ditariknya punyaku.
“Aauuu” aku teriak.
“Masukkin, engga aman!”
“Iya Tante, saya tahu. Cuma bercanda”
Di hari berikutnya Tante membalas.
Sewaktu
aku sedang makan siang sendiri, Tante mendekatiku, sangat dekat
sehingga perutnya hanya berjarak beberapa senti dari pipiku. Kucium
bawah perutnya. Lalu Tante meraih tanganku, dimasukkan ke balik gaunnya,
langsung vaginanya terpegang. Tak ada celana dalam di balik gaun Tante.
“Sudah bersih, Tante ?”
“Sudah..”
Kuangkat
gaun itu sehingga ‘rambut’ yang menggemaskan itu nampak. Aku langsung
tegang, berarti siang ini bisa. Aku langsung berdiri meninggalkan
makanku, memeluknya.
“Tunggu dulu” kata Tante sambil mendorongku terduduk kembali.
“Kali
ini Oommu dulu, ya..” Katanya sambil meninggalkanku masuk ke kamarnya.
Kurang ajar! Oom Ton ada di kamar. Seharusnya aku tahu, mobilnya ada di
garasi. Tante masih sempat melihatku sambil tersenyum, sebelum ia
mengunci kamar.
Aku makin tegang ketika setengah jam kemudian lamat-lamat mendengar suara erangan Tante dari kamar..
Aku masuk kamar, tak tahan di situ.
Tante sudah selesai mens-nya, seharusnya siang ini ia milikku. Tapi Oom Ton merebutnya. Merebut ? Memang Oom Ton pemilik sah.
Aku gagal mencoba berkonsentrasi membaca Fisika, besok ulangan. Bayangan Tante disetubuhi suaminya yang muncul. Ah, sialan..
Setelah
mencoba menyadari posisiku, aku jadi agak tenang. Aku ‘kan hanya
kemenakannya yang dibantu, lahir dan batin, kenapa musti sewot ?
Kelaminku mulai surut.
Tapi itu tak lama.
Tiba-tiba Tante
masuk, langsung mengunci pintu kamarku. Disodorkan buah dadanya ke
mulutku. Buah itu masih berkeringat, juga wajahnya. Tak peduli. Aku
serbu dada itu, masih duduk di kursi belajarku. Kelaminku langsung
membesar lagi. Tante dengan tergopoh-gopoh membuka resleting celanaku,
mengeluarkan isinya yang sudah keras menjulang. Ia melangkah naik ke
pahaku. Mengarahkan kelaminku ke vaginanya, dan….blessss aku langsung
masuk…! Gila! Tanpa pemanasan dulu Tante langsung main. Di kursi lagi.
Untung aku cepat siap. Jadilah kami ‘berkudaan’ di kursi. Tante semangat
sekali nampaknya. Dengan posisi berpangku berhadapan ia di atas, Tante
leluasa mengeksplorasi penisku. Aku lebih pasif. Hanya kadang-kadang
saja menusuk, soalnya berat, harus mengangkat tubuhnya dengan pinggulku.
Edan!
Setengah jam yang lalu aku mendengar Tante mengerang di kamarnya
bersama Oom Ton, sekarang ia berkudaan denganku, sementara suaminya
(mungkin) sedang pulas di kamar sebelah!
Seakan ia tak ada
puasnya. Atau jangan-jangan ia belum puas dengan suaminya lantas
melanjutkan di sini ? Hanya Tante yang tahu. Betapa trampilnya ia
menggenjot. Vaginanya begitu menjepit dan mengurut penisku,
berulang-ulang. Begitu rupa ia menstimulasi kelaminku, membuat aku cepat
naik. Geli sekali. Makin cepat dia, makin geli aku. Tiba-tiba tangannya
mencekram kepalaku kuat sekali. Tubuhnya bergetar hebat, mengejang. Di
dalam sana berdenyut-denyut. Bahuku digigitnya. Getaran tubuhnya makin
hebat, lalu mendadak berhenti menggenjot. Mengerang. Tante sedang
melayang di puncak..
Akupun hampir sampai. Aku sekarang yang
menggenjot. Tante teriak. Vaginanya menjepitku teratur menandakan Tante
telah orgasme. Aku tak peduli, sebab aku belum, cuma hampir sampai,
terus menggenjot. Tante masih mencekeram erat, secara pasif mengikuti
gerakan tusukanku yang naik-turun, lalu…akupun mengejang, melepas.
Heran, Tante mengerang lagi, seharusnya aku yang teriak. Tante ikut
menikmati ejakulasiku.
Sejurus kemudian kami diam, masih berpelukan, Tante belum mencabut. Hanya nafas kami berdua yang masih berkejaran.
“Tante hebat…” aku membuka percakapan
“Apanya yang hebat, justru kamu yang hebat. Tante tadi ‘kan duluan”
“Ah, kita hampir bersamaan kok tadi”
“Jadi apa maksudmu hebat”
“Tante bisa dua kali berturutan”
“Ooh itu, engga juga sih..”
“Tadi saya mendengar, waktu Tante sama Oom”
“Ah, masa.?”
“Iya, Tante mengerang, saya jadi ngiri.”
“Kan kamu dapat juga”
“Itulah makanya Tante bisa dua kali”
“Kamu juga bisa dua kali, waktu malam itu.”
“Iya, tapi ‘kan ada jarak waktu”
“Sebenarnya Tante tadi cuma sekali”
“Yang benar, Tante. Barusan Tante ‘kan sampai puncak..”
“Iya. Cuma itu. Sama kamu”
“Tadi sama Oom..” aku mulai menyelidik tentan hubungan Oom dan Tanteku ini.
Tante diam saja.
“Kok diam, Tante” aku benar-benar ingin tahu.
“Ini kan masalah Tante dengan Oom-mu, rahasia dong”
“Please, Tante, cerita dong. Tante kan isteri ku juga” buah dadanya kucium, putingnya masih keras.
“Kamu engga usah tahu”
“Ayolah, Tante”
Tante diam lagi agak lama. Lalu….
“Sama Oommu Tante belum sampai …..” Kaget juga aku. Jadi, tak berhasil orgasme dengan suaminya lalu melanjutkan denganku.
“Ah masa, Tante”
“Itulah kenyataannya, To. Oom-mu engga bisa memuaskan Tante”
Mungkin inilah sebabnya, Tante tiap siang tak menolak aku setubuhi, bahkan menikmati.
“Pantesan……”
“Pantesan apa ?” tanya Tante
“Tadi Tante langsung masuk, engga pemanasan dulu”
“Tante tadi senewen, To. Ada rasa menggantung, ada yang harus dituntaskan”
“Untung saya tadi udah siap”
“Sory ya To…”
“Engga apa-apa, Tante. Saya tadi juga puas. Cuma lebih nikmat kalau pemanasan dulu”
“Kamu
harus mulai terbiasa begini, To. Seperti yang Tante bilang dulu, Tante
butuh kamu. Jangan kaget kalau tiba-tiba Tante pengin. Tante harus
mencapai orgasme. Kalau tidak Tante bisa gila..”
“Saya siap,
Tante, Betul. Kapanpun Tante butuh saya, silakan saja Tante. Saya juga
menikmatinya, Tante. Tanpa pemanasanpun saya engga apa-apa. Tadi saya
bilang begitu, itu hanya akan lebih nikmat kalau dengan pemanasan. Kalau
tidakpun engga apa-apa”
“Syukurlah, To. Pemanasan gimana yang kamu inginkan, To ?”
“Seperti inilah Tante” jawabku sambil menciumi dadanya.
“Itu kalau kita sempat. Kalau kaya tadi, gimana ?” tanyanya lagi.
“Kan saya siap, Tante”
“Iya sih. Maksud Tante supaya kamu lebih nikmat, kamu perlu pemanasan”
“Yang
biasanya kita lakukan sudah dengan pemanasan ‘kan. Cuma tadi saja, yang
tidak” jawabku sekenanya. Pertanyaan Tante sulit kujawab.
“Waktu kamu denger Tante sama Oom tadi, kamu gimana”
“Saya terangsang, Tante”
“Okey, Tante ada ide buat pemanasan kamu, To. Tapi ide gila, mungkin”
“Silakan, Tante. Saya senang sekali. Tante kreatif, saya menikmatinya”
‘Jangan kaget, ya. Kamu tahu kamar si Luki ?”
“Tahu Tante” kamar Luki bersebelahan dengan kamar Tante.
“Disitu kan ada pintu yang tembus ke kamar Tante”
“Saya engga perhatikan, Tante”
“Kalau kunci pintu itu Tante cabut, kamu bisa lihat ke kamar Tante dari lubangnya….kamu ngerti apa yang Tante maksud ?”
“Belum, Tante”
“Lubang kunci itu lurus ke tempat tidur..”
Amboi.
Berarti, kalau aku mengintip lewat lubang itu, aku bisa lihat kejadian
tempat tidur Tante. Hubungannya dengan pemanasan, berarti….hebat, ide
yang hebat. Kucium bibir Tante dengan gemas.
“Ide brilian! Setuju banget tante!” kataku gembira.
“Ntar dulu, setuju apa ?”
“Aku akan mengintip Tante sama Oom, sebagai pemanasan”
“Kamu cerdas. Menurut kamu ini gila, engga”
“Engga! Saya mau Tante. Kita coba nanti malam ya.?”
“Semangat banget”
“Pengalaman baru” Aku sangat ingin melihat bagaimana Tante melayani Oom, bagaimana permainan Oom Ton!
Tante diam lagi. Hanya sekejap, lalu.
“To,
Tante ingin main sama kamu di tempat terbuka…” kaget lagi aku. Tempat
terbuka ? Aneh. Ini sih hebat banget. Aku ingat kemarin, Tante
mengulumiku di ruang tengah. Nikmat.
“Ide Tante memang hebat-hebat. Saya suka Tante. Tapi aman engga ?
“Itu masalahnya”
“Kita cari kesempatan, Tante. Pasti nikmat deh”
Tante pelan-pelan bangkit, melepas.
“Eeeeeeeeeehhhhhhhhh” lenguhnya mengiringi pencabutan ini.
Di pintu kamarku Tante nengok kanan-kiri sebelum keluar. Aku ke kamar mandi.
Selesai
dari kamar mandi aku lihat kamar Luki, kosong. Luki sedang dibawa
pengasuhnya keluar. Pelan-pelan aku masuk, hati-hati pintunya kukunci.
Ini dia pintu penghubung tadi. Aku mengintip. Tak melihat apa-apa,
kuncinya masih menggantung. Aku kecewa. Kuncinya hanya bisa dicabut dari
arah kamar Tante. Ia harus membantuku. Aku mencari Tante, lagi di
kamarnya. Lebih baik aku makan dulu sambil menunggu Tante keluar.
Benar, Tante keluar, segar sekali nampaknya.
“Tante, cabut dulu kuncinya, saya mau coba” bisikku. Tante tersenyum, masuk lagi ke kamarnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar